Ibu, semakin lama aku semakin
mengerti cintamu yang begitu besar untukku. Semakin dewasa semakin ingin
kuberbakti untukmu, aku rasa semua baktiku pun tak akan cukup untuk membalas
jasa-jasamu.
Ibu, aku tidak tahu bagaimana engkau hamil dan melahirkan
aku, yang aku tahu hanya cerita darimu, 24 jam his persalinan dilanjutkan
dengan kala 2 yang lama karna saat itu ibu masih gravida 1. Aku mulai
membayangkan bagaimana perasaanmu saat aku menjadi dokter muda dan memasuki
bagian obgyn (kebidanan dan kandungan). Disitu aku mengerti bagaimana rasanya
pasangan muda mengetahui bahwa sang istri sedang hamil anak pertama. Euphoria
yang membuncah. Kemudian dilanjutkan dengan kontrol kehamilan berkala, rata-rata
setiap kali antenatal care (pemeriksaan kehamilan) sang ibu selalu didampingi
oleh suami. Disitu dapat dilihat, betapa ayah pun selalu ingin tahu bagaimana
perkembangan buah cintanya, sejak dalam kandungan, bahkan tak jarang para suami
yang banyak bertanya dan ingin tahu lebih dalam mengenai kondisi ibu dan janin.
Kemudian tibalah saat sang ibu melahirkan. Anak pertama dari ibu gravid
pertama, rata-rata mengalami kala 1 dan 2 yang lama. Kala 1 adalah proses
pembukaan jalan lahir, kontraksi rahim (his), dan penurunan bayi dari rahim ke
jalan lahir. Yang membuat ibu-ibu tersiksa adalah saat his terjadi, sakitnya
luar biasa, banyak ibu yang teriak-teriak sampai berkeringat sangking sakitnya.
Dan his terjadi semakin lama semakin kuat, mulai 1x setiap 10 menit sampai 5x
dalam 10 menit. Dan lamanya his juga bervariasi, ada yang hanya 10 atau 20
detik, namun semakin besar pembukaan his akan semakin lama, bahkan mencapai
60-90 detik setiap his.
Kala 1 lamanya bisa bervariasi,
ada yang hanya 2 jam ada juga yang bisa sampai 2 hari, tergantung oleh beberapa
faktor, salah satunya hamil anak pertama. Jadi, bisa aku bayangkan ibuku mules
menahan sakit untuk melahirkan aku selama 24 jam. Sudah pasti tidak bisa tidur,
bahkan untuk berbaring pun gelisah, kanan kiri terlentang, semua posisi sudah
dicoba namun tetap saja mules itu terasa sekali. His akan terasa sampai
akhirnya ada dorongan untuk mengejan seperti ingin BAB dan jalan lahir mulai
terbuka. Pertama kali aku menolong persalinan adalah pasien muda usia 17 tahun
di RSKIA Astana anyar. Sungguh vagina nya masih kaku, sampai akhirnya harus
digunting untuk menghindari robekan berlebihan (episiotomy). Kekuatan yang
diperlukan untuk mengejan luar biasa harus kuat, supaya kepala bayi bisa keluar
dengan lancar. Apalagi dengan ibu yang kehabisan tenaga karena menahan sakit
selama his. Pada anak pertama persalinan pengeluaran bayi bisa sampai 1 jam.
Namun Alhamdulillah setelah itu bayi keluar dengan selamat, ibu dijahit pada
luka episiotomi, kemudian setelah selesai bayi langsung diberikan ke gendongan
ibu. Disitu terasa sekali betapa manisnya keluarga muda yang baru kedatangan
anak pertamanya ke dunia. Dimulai dengan ayahnya yang membisikkan azan di
telinga kanan dan iqamah di telinga kirinya, kemudian anak yang mulai menyusui di
payudara ibu, sambil tangan ayah dan ibu nya tak henti-hentinya mengusap kepala
anak sambil terlihat raut bahagia ayah dan ibu. Aku membayangkan begini rasanya
saat aku lahir, anak pertama dari pasangan yang baru menikah. Cucu pertama dari
pihak ibu. Waah, sudah pasti banyak harapan dan doa dari ayah dan ibu kepadaku,
bayi perempuan mungil dengan berat 2400 gram dan panjang 47 cm.
Ibuku bukan orang dengan latar belakang medis, apalagi
ayah. Mereka orang awam yang membesarkan anak dengan pengalaman mereka mengurus
adik-adik, belajar dari kakek nenek, dan mengembangkannya sendiri agar anaknya
tumbuh cerdas dan sehat. Aku sejak lahir memang kecil, sampai saat ini pun
masih sama, kecil dan kurus (baca : langsing :p). Namun menurut ibu aku tidak
pernah sakit. Hanya sekali dua kali dalam 6 bulan-1 tahun dan itu hanya batuk
pilek panas biasa. Dari perkembangan milestone, aku termasuk anak yang cepat
ngomong, belum 1 tahun sudah bisa ngomong 2-3 kata, belum usia 2 tahun sudah
ngomong lancar dan bisa diajak ngobrol dan menuruti apa kata-kata ibu. Namun
untuk motorik kasar aku cukup lambat, usia 1,5 tahun baru bisa jalan. Karena
ibuku cerdas dan beliau melihat potensi anaknya, maka beliau mengajarkan aku
banyak gambar, huruf, dan hitung-hitungan, sehingga sebelum masuk TK aku sudah
lancar membaca dan berhitung. Dulu ayah dan ibu masih membangun rumah
tangganya, jadi belum mampu untuk menyekolahkan aku ke play grup, les musik,
atau les balet. Apalagi ketika aku berumur 4 tahun ibuku melahirkan adikku.
Namun dengan keterbatasan pun ibu bisa mendidik aku sampai sekarang.
Ketika aku masuk SD, mulai lah ibu memasukkan aku les
berenang. Tujuannya sebenarnya supaya aku ada aktivitas olahraga dan supaya aku
berani. Dari tujuan itu saja aku sudah bisa mencetak beberapa prestasi di
bidang renang, medali pada perlombaan renang dan loncat indah. Selain itu ibu
juga memasukkanku ke TPA yang tak jauh dari rumah, pulang pergi memakai
angkutan becak. Setiap liburan kenaikan kelas, ibu selalu memberikan buku-buku
pelajaran untuk kelas selanjutnya. Ibu selalu memberi aku PR sehingga aku bisa
menghabiskan buku-buku itu selama liburan. Kebetulan jaman dulu kan liburnya
lama, 1 bulan, dan orangtuaku bukan orang yang mampu untuk mengajak jalan-jalan
ke luar negeri jika liburan panjang, kami biasanya liburan sambil pulang ke
Sukabumi atau Belitang 1 kali dalam setahun setiap lebaran. Kalau ke Sukabumi
kadang mampir ke taman mini, dufan, taman safari, dan tempat-tempat rekreasi
lain yang terkenal (saat itu belum banyak tempat rekreasi). Kembali ke buku
pelajaran, jadi seperti itulah cara ibuku menyuruh belajar, jadi ketika aku
masuk sekolah, aku sudah menguasai semua pelajaran, maka tidak heran aku selalu
juara satu di sekolah selama SD (walaupun pernah kalah beberapa kali, bisa
dihitung menggunakan 1 tangan :p).
Selain prestasi di sekolah, ibu
selalu mendorong aku untuk ikut lomba-lomba menggambar, mewarnai, tujuannya ya
itu, agar aku berani. Lalu saat kelas 5 aku juga diikutkan les menari, dan
sampai saat ini aku sangat mencintai tarian tradisional Indonesia dan aku hapal
beberapa tarian Lampung, jawa barat, dan Bali. Satu lagi yang aku kuasai adalah
sempoa, aku mulai les saat kelas 5 SD di sempoa Indonesia pratama (SIP),
kebetulan ada di kompleks rumahku. Aku biasa kesana dengan sepeda atau berjalan
kaki. Ilmu sempoa ini juga bermanfaat ketika aku di SMP dan SMA sehingga aku
jago di bidang matematika, fisika, kimia. Di beberapa perlombaan cerdas cermat
juga aku bisa paling cepat menjawab karena dapat menghitung dengan cepat setiap
pertanyaan.
Aku tumbuh menjadi anak penurut, aku selalu takut untuk
membuat ayah dan ibu sedih. Walaupun terkadang aku juga keras kepala sehingga
membangkang apa kata mereka. Apalagi ketika aku kuliah, aku nekat pacaran
dengan orang yang ibuku tidak suka. Tapi lama-lama aku tahu apa yang ibu
rasakan itu adalah insting seorang ibu terhadap anaknya, dan beberapa saat
kemudian aku putus dengan meninggalkan luka yang cukup dalam (ceileh lebay deh
hehee).
Ibu sangat protektif, beliau tidak mau anaknya sedih atau
menangis karena orang lain. Aku pernah cerita pada ibu saat aku SMP ada temanku
yang pintar tapi licik. Aku berteman cukup dekat dengannya. Aku pernah kesal
dan cerita pada ibu, kenapa orang licik seperti dia bisa selalu beruntung dan
mendapatkan apa yang dia mau, kan tidak adil, dia jahat sampai bisa melakukan
segala cara. Waktu itu ibu bilang aku cerita sampai nangis (padahal aku lupa
pernah nangis sambil cerita hal ini), dan sejak saat itu sampai sekarang, ibu
benar-benar tidak suka sama temanku ini. Bahkan kalau aku bercerita tentang dia
ke ibu, ibu selalu bilang “ngapain sih masih kontak sama dia?”, sangking beliau
masih terngiang anaknya pernah nangis oleh anak ini. Aku juga pernah nangis
ketika putus dengan pacar, memang sih aku agak lebay gitu nangisnya, sampai ibu
sedih dan tidak suka dengan mantanku ini, karena menurutnya dia jahat sudah
membuat anak ibu menangis. Padahal aku tidak menceritakan secara detail, tapi
tergambar olehnya apa yang diperbuat oleh mantanku ini benar-benar membuatku
sakit, jadi sampai saat ini pun ibu membenci mantanku.
Aku benar-benar dekat dengan ibu, segala hal aku ceritakan,
bahkan sampai hal kecil aku membeli ikat rambut pun kuceritakan. Namun sejak
kejadian itu aku sadar, tidak semua bisa kuceritakan pada ibu. Apa yang membuatku
sedih tidak perlu aku ceritakan ke ibu, kecuali aku sudah benar-benar tidak
kuat baru aku ceritakan padanya. Hal-hal kecil seperti keluhan tidak perlu aku
ceritakan, karena akan menjadi beban pikirannya. Apalagi semenjak ayah dan ibu
hanya berdua di rumah, aku ingin memastikan bahwa disini anak-anaknya baik-baik
saja dan mereka tidak perlu khawatir. Apalagi mereka cukup sering menengok
kami, bisa 1-3 bulan sekali.
Ibu saat ini usianya berada di kepala 5. Sudah banyak
keluhan-keluhan yang muncul, darah tinggi, kaku dan kesemutan, sakit kaki.
Begitu juga ayah, sudah pernah TIA (transient ischemic attack atau awamnya
disebut stroke ringan) 2x, kolesterol tinggi, hipertensi, namun mobilitas
mereka masih tinggi, demi membiayai anak-anaknya. Memasukkan anaknya ke
fakultas kedokteran artinya mewakafkan anaknya di jalan kemanusiaan. Aku
sendiri belum tahu kapan bisa membahagiakan mereka di dunia, kuliah belum
lulus, setelah lulus juga belum tentu bisa langsung bekerja, karena jadi dokter
dituntut untuk mengabdi, internship 1 tahun dengan gaji 1,2juta per bulan,
belum lagi menunggu internship beberapa bulan kosong. Rasanya kalau aku bukan
di kedokteran, mungkin aku sudah bekerja dengan gaji sekitar 10 juta kalau aku
lulusan teknik. Aku sudah bisa hidup sendiri atau bahkan membiayai adikku
kuliah, sehingga ayah ibu tidak memiliki beban banyak. Walaupun jabatan ayah di
instansi pemerintahan cukup tinggi, aku tidak pernah menikmati uangnya sebanyak
anak lain yang ayahnya memiliki jabatan yang sama. Aku tidak punya mobil, tidak
ke luar negeri setiap liburan, tidak selalu makan di tempat mewah dan mahal.
Aku diajarkan untuk sederhana tapi cukup. Cukup untuk sekolah, cukup untuk
makan, cukup untuk bergaul, namun tidak berlebih.
Dan kembali lagi, apa yang bisa aku perbuat untuk ibu (dan
ayah)? Ingin rasanya aku cepat lulus menjadi dokter saat mendengar ayah terkena
stroke ringan lagi beberapa waktu yang lalu. ingin rasanya aku ada disana dan
langsung menangani ayah. Ingin rasanya tinggal dengan mereka dan mengurus mereka
sehingga mereka bisa hidup sehat dan terrawat. Kini mereka tinggal hanya
berdua, mereka menelepon kami anak-anaknya secara berkala, dan mengunjungi kami
untuk sekedar makan enak dan menginap di hotel untuk hiburan kami semasa kuliah
di akhir minggu. Kasih sayangnya tidak pernah putus sampai saat ini. Contoh
baiknya selalu terngiang di otak kami, anak-anaknya, sehingga kami tidak ragu
untuk sekedar bersedekah, menjadi sukarelawan, atau membantu dalam membangun
sesuatu dengan uang ayah. Ayah dan ibu membiayai beberapa anak, yang ijazahnya
masih ditangguhkan karena bertahun-tahun belum bayar SPP, memiliki anak asuh,
membangun masjid, mendanai beberapa kegiatan sosial. Karena untuk ayah,
rejekinya sebagian untuk keluarga dan sebagian untuk yang membutuhkan. Ayah dan
ibu contoh orangtua yang berhasil, diluar kekurangannya sebagai manusia, mereka
patut menjadi teladan untuk bisa bermanfaat bagi sekitar, peka terhadap
lingkungan, dan mengamalkan segala perintah agama sebisa mungkin yang mereka
bisa, memperhatikan kepentingan orang lain, dan jarang sekali mengecewakan
orang-orang di sekitarnya.
Semoga kami anak-anaknya bisa menyerap indirect lesson dari
mereka, bahkan lebih baik lagi.. Semoga kami bisa selalu berbakti untuk mereka,
dan semoga doa kami menjadi bekal dan syafaat bagi mereka di akhirat nanti.
Allahummaghfirli waliwaalidayya
warhamhumaa kamaa robbayaani saghiraa..