Sabtu, 22 Desember 2012

Cerita Cita Dokter Muda


Almost one and a half year I become a young doctor. Hampir semua bagian sudah aku lewati bersama teman-teman seperjuangan dari Indonesia dan negeri seberang, Malaysia. Retno, Michelle, Yasser, Novita, Alvy, Aziz, Atrash, Azna, Alyaa, Nimi, dan Loga, mereka adalah teman-teman yang bersama-sama merangkak mencuri ilmu dari pasien-pasien di rumah sakit. Kami menjadi sangat dekat satu sama lain, karena selalu bersama melewati satu bagian ke bagian lain. Awalnya aku tidak mengenal mereka begitu dekat, tapi kini semua jadi saudara, semua kejadian diantara kita pasti kita tahu. Nikah dan hamilnya nimi, operasinya ate, dirawatnya aku, dan hal-hal lain yang dilalui bersama. Persaudaraan yang sederhana, tapi bermakna, masuk bersama, lulus pun bersama. Sampai saat ini tidak ada diantara kami yang harus prolong di dunia perkoasan.

Koas, 18 departemen yang harus aku lalui, 75 minggu (termasuk libur 1 minggu setiap 27 minggu) waktu yang harus ditempuh. Banyak sekali pengalaman yang didapat. Petikan terbaru didapat hari minggu kemarin, saat aku jaga terakhir kalinya di RSHS.

Pasien jaga terakhirku adalah seorang laki-laki sekitar 60 tahun dengan diagnosis NHL, tumor pada kelenjar getah bening leher. Tumor tersebut belum pasti ganas atau jinak, karena belum ada hasil dari histopatologinya. Namun yang membuat dia perlu mendapat perawatan intensif adalah karena riwayat pengobatanya. Sebut saja pasien ini Tn. D, dia sudah merasa ada benjolan ini sejak lebih dari 1 tahun yang lalu. 6 bulan yang lalu dia pergi ke pengobatan alternatif di sebuah klinik di pinggiran bandung, 2 bulan berobat penyakitnya tidak kunjung sembuh, akhirnya Tn. D berobat ke RS swasta di Bandung. Disana, dokter memeriksa Tn. D dan mengatakan bahwa pasien harus disinar untuk benjolan ini. Tn. D menolak karena banyak mendengar efek sinar dan kemo yang buruk, maka dia pulang ke rumah dan melanjutkan ke pengobatan alternatif. Selanjutnya, entah disuntik apa disana sehingga muka nya menjadi bengkak, terjadi sumbatan jalan napas tingkat 3-4, sehingga pasien datang ke RSHS dan harus di trakeostomi (dibuat saluran napas di trakea, di leher), namun karena benjolan yang semakin meluas tersebut, sehingga mempersulit untuk melakukan trakeostomi. Akhirnya pasien tersebut hanya dipasang ETT. Dan sampai kemarin saat jaga (hari ke4) kondisi pasien masih sama.

Kisah lain seorang ibu yang membawa anaknya ke IGD bedah RSHS karena anaknya ditampar dan ditusuk oleh orang tua murid karena masalah antara anak kecil. Tidak parah luka anak tersebut sebenarnya, namun kekhawatiran ibunya akan trauma psikis yang mungkin akan terjadi pada anak ini membuat ibu membawa anaknya ke RS. Mungkin bagi sebagian dokter, luka pukulan dan tusukan saja yang harus diobati, atau gejala sulit bernapasnya saja yang harus ditangani untuk kisah sebelumnya. Namun dibalik semua itu, ada hal yang kadang tidak terjamah oleh dokter.

Pada pasien tuan D, ketidaktahuan dan minimnya informasi mengenai penyakitnya, menyebabkan ia harus berada dalam keadaan hidup dan mati. Ya, betapa masih banyak masyarakat Indonesia yang memilih untuk berobat ke pengobatan alternative yang tidak tahu bagaimana reputasinya. Sebenarnya tidak menyalahkan pengobatan alternative, karena banyak pengobatan alternative yang benar, yang sesuai, seperti bekam, rukyah, akupungtur, herbal, namun belum banyak yang resmi dan didaftarkan ke dinas kesehatan. Ironisnya lagi pasien tidak peduli dengan adanya label resmi tersebut, yang ia yakini adalah berdasarkan kabar berita dari kerabat dan saudara, tempat pengobatan itu bagus karena sudah beberapa teman dan kerabat dari si pemberi kabar yang sembuh setelah berobat disana. Alhasil ketika pengobatan tidak berhasil dan malah memperburuk penyakit, pasien pun tidak jarang yang datang dalam keadaan end stage, atau diantara hidup dan mati, yang sulit untuk diperbaiki secara medis.

Pada pasien yang kedua, tidak banyak dokter yang tahu kekhawatiran sang ibu. Bagaimana psikis sang anak kedepannya, bagaimana kehidupan keluarga tanpa ayah tersebut kedepannya karena ternyata orangtua murid yang memukul tersebut masih dendam padanya. Tidak ada yang tahu bahwa sang ibu ternyata memiliki benjolan di payudara nya yang kecenderungan kepada ca mamae. Dan dokter yang sibuk mengurusi banyak pasien, tidak akan sempat untuk mengobrol banyak, padahal mungkin sedikit waktu dari kita bisa memberikan kualitas hidup yang lebih baik untuk keluarga tersebut. Bisa saja kita langsung menyarankan ibu untuk cek segala hal mengenai payudaranya saat itu juga biar sekalian. Atau bisa juga sekalian kita sarankan untuk ke psikolog terdekat untuk anak tersebut. Atau bisa juga dengan menyelipkan petuah-petuah agamis untuk sang ibu, minimal menenangkan untuk saat itu. Untuk mengurangi gap komunikasi antara dokter-pasien.

Dari 2 kasus diatas aku menyimpulkan bahwa masyarakat Indonesia mungkin butuh sosok dokter keluarga, yang bisa memikirkan paradigma sehat bagi pasien-pasien yang dibinanya. Menurut WHO definisi sehat adalah keadaan sejahtera secara fisik, psikis, dan sosial. Jelas penanganan sehat secara fisik dan sosial tidak bisa dengan sekali datang berobat ke klinik dengan durasi hanya 15 menit, perlu waktu mungkin sampai berbulan-bulan untuk mengetahui masalah satu keluarga saja. Bayangkan jika 50 keluarga dipegang oleh 1 dokter keluarga, dan seluruh keluarga tercover oleh dokter, maka Indonesia sehat pun akan tercapai. Pengeluaran pemerintah untuk kuratif pasien-pasien jamkesmas/jamkesda bisa berkurang, dan bisa digunakan untuk pembangunan bangsa. Begitu banyak hal yang bisa dilakukan oleh seorang dokter, maka tidak salah jika dokter dikatakan sebagai profesi mulia, karena memang tugasnya menjaga yang sehat agar tetap sehat, yang sakit agar bisa sembuh, atau minimal memperbaiki kualitas hidupnya sebisa yang ia bisa lakukan. Namun profesi mulia itu tidak sebanding dengan kebahagiaan batin yang didapat, ketika masyarakatnya sehat dan produktif, bisa memajukan bangsanya sendiri.

Menjadi dokter muda di RS, membuat aku belajar banyak hal. Mumpung aku masih koas, belum punya tanggungan terhadap pasien, aku bisa banyak mencuri ilmu. Bisa dari dokter konsulen dari semua pengalamannya, dokter residen dari keterampilannya di setiap poliklinik RS, perawat dan petugas RS, dan juga dari pasien. Banyak yang bisa diamati dari pasien, keragaman jenis pasien yang datang, jenis sakit yang diderita, jenis watak pasien, dan bahkan dari cara datang dan dimana mereka menginap. Tidak jarang pasien yang rela datang jam 7 malam dari Banjar dan sampai ke RSHS jam 3 subuh kemudian langsung mengantri di depan loket antrian RS. Selanjutnya jika ada pemeriksaan yang harus dilakukan esok harinya, tidak sedikit juga pasien yang tidur beralaskan Koran di selasar RS karena jarak pulang ke daerah asalnya jauh. Ada juga pasien yang tega, kabur tidak membayar berbagai pemeriksaan yang dilakukan di RS dengan keadaan masih perlu pendampingan. Dan berbagai pengalaman lain yang tidak bisa diceritakan satu persatu. Pengalaman tersebut membuat para koas ini belajar, bukan hanya cara mengobati, tapi juga belajar bersyukur dan selalu melihat kebawah, agar tidak sombong dan agar selalu memperjuangkan kondisi pasien dengan sebaik-baiknya, karena pasien banyak yang berekspektasi lebih ke dokter untuk kesembuhan penyakitnya. Selain itu aku juga mendapatkan pentingnya upaya promotif dan preventif terutama di pelayanan kesehatan primer, di tempat dimana dokter umum berada, dan ketika aku lulus, begitu banyak tugas dan amanah berada di pundakku, untuk membuat masyarakatku sehat.

Sebentar lagi aku dan teman-teman seperjuangan akan lulus dan insyaAllah dengan bekal selama 75 minggu ini kami siap mengemban amanah kami. Tidak terasa perjuangan kami akan segera dimulai, dan semoga kami semua selalu dilindungi oleh Allah dalam segala perbuatan dan keputusan yang kami ambil.

Bandung, 2 Desember 2012
Bandung, 22 Desember 2012

Tidak ada komentar: