Almost one and a half year I become a young
doctor. Hampir semua bagian sudah aku lewati bersama teman-teman
seperjuangan dari Indonesia dan negeri seberang, Malaysia. Retno, Michelle,
Yasser, Novita, Alvy, Aziz, Atrash, Azna, Alyaa, Nimi, dan Loga, mereka adalah
teman-teman yang bersama-sama merangkak mencuri ilmu dari pasien-pasien di
rumah sakit. Kami menjadi sangat dekat satu sama lain, karena selalu bersama
melewati satu bagian ke bagian lain. Awalnya aku tidak mengenal mereka begitu
dekat, tapi kini semua jadi saudara, semua kejadian diantara kita pasti kita
tahu. Nikah dan hamilnya nimi, operasinya ate, dirawatnya aku, dan hal-hal lain
yang dilalui bersama. Persaudaraan yang sederhana, tapi bermakna, masuk
bersama, lulus pun bersama. Sampai saat ini tidak ada diantara kami yang harus prolong di dunia perkoasan.
Koas, 18
departemen yang harus aku lalui, 75 minggu (termasuk libur 1 minggu setiap 27
minggu) waktu yang harus ditempuh. Banyak sekali pengalaman yang didapat.
Petikan terbaru didapat hari minggu kemarin, saat aku jaga terakhir kalinya di
RSHS.
Pasien jaga
terakhirku adalah seorang laki-laki sekitar 60 tahun dengan diagnosis NHL,
tumor pada kelenjar getah bening leher. Tumor tersebut belum pasti ganas atau
jinak, karena belum ada hasil dari histopatologinya. Namun yang membuat dia
perlu mendapat perawatan intensif adalah karena riwayat pengobatanya. Sebut
saja pasien ini Tn. D, dia sudah merasa ada benjolan ini sejak lebih dari 1
tahun yang lalu. 6 bulan yang lalu dia pergi ke pengobatan alternatif di sebuah
klinik di pinggiran bandung, 2 bulan berobat penyakitnya tidak kunjung sembuh,
akhirnya Tn. D berobat ke RS swasta di Bandung. Disana, dokter memeriksa Tn. D
dan mengatakan bahwa pasien harus disinar untuk benjolan ini. Tn. D menolak karena
banyak mendengar efek sinar dan kemo yang buruk, maka dia pulang ke rumah dan
melanjutkan ke pengobatan alternatif. Selanjutnya, entah disuntik apa disana
sehingga muka nya menjadi bengkak, terjadi sumbatan jalan napas tingkat 3-4,
sehingga pasien datang ke RSHS dan harus di trakeostomi (dibuat saluran napas
di trakea, di leher), namun karena benjolan yang semakin meluas tersebut, sehingga
mempersulit untuk melakukan trakeostomi. Akhirnya pasien tersebut hanya
dipasang ETT. Dan sampai kemarin saat jaga (hari ke4) kondisi pasien masih
sama.
Kisah lain
seorang ibu yang membawa anaknya ke IGD bedah RSHS karena anaknya ditampar dan
ditusuk oleh orang tua murid karena masalah antara anak kecil. Tidak parah luka
anak tersebut sebenarnya, namun kekhawatiran ibunya akan trauma psikis yang
mungkin akan terjadi pada anak ini membuat ibu membawa anaknya ke RS. Mungkin
bagi sebagian dokter, luka pukulan dan tusukan saja yang harus diobati, atau
gejala sulit bernapasnya saja yang harus ditangani untuk kisah sebelumnya.
Namun dibalik semua itu, ada hal yang kadang tidak terjamah oleh dokter.
Pada pasien tuan
D, ketidaktahuan dan minimnya informasi mengenai penyakitnya, menyebabkan ia
harus berada dalam keadaan hidup dan mati. Ya, betapa masih banyak masyarakat
Indonesia yang memilih untuk berobat ke pengobatan alternative yang tidak tahu
bagaimana reputasinya. Sebenarnya tidak menyalahkan pengobatan alternative,
karena banyak pengobatan alternative yang benar, yang sesuai, seperti bekam,
rukyah, akupungtur, herbal, namun belum banyak yang resmi dan didaftarkan ke
dinas kesehatan. Ironisnya lagi pasien tidak peduli dengan adanya label resmi
tersebut, yang ia yakini adalah berdasarkan kabar berita dari kerabat dan
saudara, tempat pengobatan itu bagus karena sudah beberapa teman dan kerabat
dari si pemberi kabar yang sembuh setelah berobat disana. Alhasil ketika
pengobatan tidak berhasil dan malah memperburuk penyakit, pasien pun tidak
jarang yang datang dalam keadaan end stage, atau diantara hidup dan mati, yang
sulit untuk diperbaiki secara medis.
Pada pasien yang
kedua, tidak banyak dokter yang tahu kekhawatiran sang ibu. Bagaimana psikis
sang anak kedepannya, bagaimana kehidupan keluarga tanpa ayah tersebut
kedepannya karena ternyata orangtua murid yang memukul tersebut masih dendam
padanya. Tidak ada yang tahu bahwa sang ibu ternyata memiliki benjolan di
payudara nya yang kecenderungan kepada ca mamae. Dan dokter yang sibuk
mengurusi banyak pasien, tidak akan sempat untuk mengobrol banyak, padahal
mungkin sedikit waktu dari kita bisa memberikan kualitas hidup yang lebih baik
untuk keluarga tersebut. Bisa saja kita langsung menyarankan ibu untuk cek
segala hal mengenai payudaranya saat itu juga biar sekalian. Atau bisa juga
sekalian kita sarankan untuk ke psikolog terdekat untuk anak tersebut. Atau
bisa juga dengan menyelipkan petuah-petuah agamis untuk sang ibu, minimal
menenangkan untuk saat itu. Untuk mengurangi gap komunikasi antara
dokter-pasien.
Dari 2 kasus
diatas aku menyimpulkan bahwa masyarakat Indonesia mungkin butuh sosok dokter
keluarga, yang bisa memikirkan paradigma sehat bagi pasien-pasien yang
dibinanya. Menurut WHO definisi sehat adalah keadaan sejahtera secara fisik,
psikis, dan sosial. Jelas penanganan sehat secara fisik dan sosial tidak bisa
dengan sekali datang berobat ke klinik dengan durasi hanya 15 menit, perlu
waktu mungkin sampai berbulan-bulan untuk mengetahui masalah satu keluarga
saja. Bayangkan jika 50 keluarga dipegang oleh 1 dokter keluarga, dan seluruh
keluarga tercover oleh dokter, maka Indonesia sehat pun akan tercapai.
Pengeluaran pemerintah untuk kuratif pasien-pasien jamkesmas/jamkesda bisa
berkurang, dan bisa digunakan untuk pembangunan bangsa. Begitu banyak hal yang
bisa dilakukan oleh seorang dokter, maka tidak salah jika dokter dikatakan
sebagai profesi mulia, karena memang tugasnya menjaga yang sehat agar tetap
sehat, yang sakit agar bisa sembuh, atau minimal memperbaiki kualitas hidupnya
sebisa yang ia bisa lakukan. Namun profesi mulia itu tidak sebanding dengan
kebahagiaan batin yang didapat, ketika masyarakatnya sehat dan produktif, bisa
memajukan bangsanya sendiri.
Menjadi dokter
muda di RS, membuat aku belajar banyak hal. Mumpung aku masih koas, belum punya
tanggungan terhadap pasien, aku bisa banyak mencuri ilmu. Bisa dari dokter
konsulen dari semua pengalamannya, dokter residen dari keterampilannya di
setiap poliklinik RS, perawat dan petugas RS, dan juga dari pasien. Banyak yang
bisa diamati dari pasien, keragaman jenis pasien yang datang, jenis sakit yang
diderita, jenis watak pasien, dan bahkan dari cara datang dan dimana mereka
menginap. Tidak jarang pasien yang rela datang jam 7 malam dari Banjar dan
sampai ke RSHS jam 3 subuh kemudian langsung mengantri di depan loket antrian
RS. Selanjutnya jika ada pemeriksaan yang harus dilakukan esok harinya, tidak
sedikit juga pasien yang tidur beralaskan Koran di selasar RS karena jarak
pulang ke daerah asalnya jauh. Ada juga pasien yang tega, kabur tidak membayar
berbagai pemeriksaan yang dilakukan di RS dengan keadaan masih perlu pendampingan.
Dan berbagai pengalaman lain yang tidak bisa diceritakan satu persatu.
Pengalaman tersebut membuat para koas ini belajar, bukan hanya cara mengobati,
tapi juga belajar bersyukur dan selalu melihat kebawah, agar tidak sombong dan
agar selalu memperjuangkan kondisi pasien dengan sebaik-baiknya, karena pasien
banyak yang berekspektasi lebih ke dokter untuk kesembuhan penyakitnya. Selain
itu aku juga mendapatkan pentingnya upaya promotif dan preventif terutama di
pelayanan kesehatan primer, di tempat dimana dokter umum berada, dan ketika aku
lulus, begitu banyak tugas dan amanah berada di pundakku, untuk membuat
masyarakatku sehat.
Sebentar lagi
aku dan teman-teman seperjuangan akan lulus dan insyaAllah dengan bekal selama
75 minggu ini kami siap mengemban amanah kami. Tidak terasa perjuangan kami
akan segera dimulai, dan semoga kami semua selalu dilindungi oleh Allah dalam
segala perbuatan dan keputusan yang kami ambil.
Bandung,
2 Desember 2012
Bandung,
22 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar