Minggu, 24 Maret 2013

Pendidikan Dokter

5,5 tahun pendidikan yang ditempuh untuk mendapat gelar ini.Lelah, sudah pasti, terseok-seok berjalan demi lulus, itu pasti, tapi ya memang seperti ini jalan yang harus kami lewati. Tidak sedikit dari kami yang tumbang di tengah jalan karena sakit,tidak naik, menikah dulu, dan urusan lainnya hingga pejuang seangkatan yang berhasil lulus tepat waktu hanya 150 orang dari total kurang lebih 280 orang.

Dimulai dari ujian tulis berupa pilihan ganda berbahasa inggris 200 soal setiap 3 bulannya. Dimana soal tersebut ada jawabannya di textbook persis plek-plekan kalau kamu detil membaca buku itu. Dimana textbook berbahasa inggris yang ada itu ga Cuma satu, jadi benar-benar harus rajin untuk membaca buku-buku yang bahkan untuk menafsirkannya pun sulit. Selain itu ada ujian SOOCA setiap 3 bulan sekali di tahun pertama dan sekali setahun untuk tahun berikutnya. SOOCA adalah ujian dari kasus-kasus yang sudah pernah dipelajari selama 1 tahun ke belakang, setiap tahun kira-kira ada 36 kasus yang dipelajari.Dari 36 kasus itu nanti 1 akan keluar untuk ujian, setiap kasus yang keluar kita harus menjelaskan dari mulai status pasien, anamnesa, pemfis, sampai treatmentnya, kemudian basic science dan penjelasan mengenai penyakitnya. Runyem! Itu yang dirasakan setiap akan ujian SOOCA. Benar-benar undian banget dan tetap harus menghapalkan semua kasus. Seminggu sebelum ujian pasti kami semua fokus di kamar masing-masing menghapalkan 36 draft kasus yang ada. Setiap tahun pasti sakit perut, pasti stress. Walaupun dicicil juga tetap saja mengulangnya sulit karna terlalu banyak yang harus dihapalkan.Dan ketika ujian telah berakhir rasanya makanan enak adalah pilihan bagi kami kemudian dilanjutkan dengan tidur. Selain itu ada ujian OSCE, dimana itu adalah ujian keterampilan yang juga berjumlah 36 keterampilan setiap tahunnya. Bedanya dengan SOOCA, untuk OSCE terdapat 15 stasion yang akan keluar di ujian, jadi kami harus menguasai ke 36 keterampilan yang sudah dipelajari. Dan di tahun ke 4 bersamaan dengan kegiatan akademik yang sama setiap tahunnya, kami juga harus mengerjakan skripsi. Bedanya kami dengan fakultas lain adalah kami harus mengerjakan skripsi di sela-sela kegiatan akademis yang lain. Di sela-sela perkuliahan kami selama 5 hari di jatinangor, kami harus bolak balik nangor-bandung demi mengejar pembimbing dan mengambil data skripsi.

Perjalanan menuju sarjana kedokteran terbayarkan dengan diterimanya ijazah kami seiring wisuda gelombang IV Universitas Padjadjaran pada 9 Agustus 2011. Namun hasil ini belum bisa membuat kami bangga, karena sesaat setelahnya kami harus langsung mengikuti kegiatan poskap/koas/p3d, yang saat ini dikenal dengan nama pspd (program studi profesi dokter). Kegiatan koas/pspd ini berlangsung selama kurang lebih 75 minggu yang terdiri dari 8 rotasi @ 9 minggu, diselingi libur 1 minggu setiap 27 minggu, yang kita sebut spacing. 8 rotasi koas tersebut terdiri dari :
-

Departemen Obgyn, anak, bedah, ipd (ilmu penyakit dalam), ikm-famed (ilmu kesehatan masyarakat-family medicine)@ 9 minggu
-

Departemen Radio, kulit, anestesi, saraf, jiwa, forensik, tht, mata @ 3 minggu
-

Departemen gimul (gigi mulut), nuklir, rehabilitasi medic @ 1 minggu


Ketika memasuki dunia koas, maka kami mulai juga terjun ke ranah klinis. Selama S1/pre klinik, kami hanya mempelajari teori dengan kunjungan ke rumah sakit hanya 1-2 kali setiap tahunnya. Jadi wajar saja saat pertama masuk koas setiap anakakan merasa excited dengan lingkungan baru, yaitu rumah sakit.Selama koas, ada 2 angkatan yang bersama-sama mengikuti kegiatan. Saat angkatan 2007 masuk, ada angkatan 2006 yang sedang koas, dan ketika 2006 lulus ada angkatan 2008 yang menggantikan 2006 untuk menemani kami. Disini kami menyatu, sudah tidak kentara lagi gap antar angkatan, kami semua sama-sama dalam satu rotasi dan belajar bersama, mencuri ilmu dari konsulen, residen, pasien, bahkan perawat di bagian kami berada. Melakukan stase poli, ruangan, stase luar, dan jaga igd. Suka duka menjadi satu. Dimulai dari hanya melihat cara konsulen/residen memeriksa pasien, sampai coba-coba melakukan, dan akhirnya terbiasa mengerjakan. Ya, keterampilan klinis memang harus diasah, selama 1,5 tahun itu kami belajar, macam-macam yang kami pelajari, dari mulai keterampilan tangan yang berupa pasang kateter, suntik, sampai manual plasenta dimana tangan kita masuk ke rahim ibu yang plasentanya belum terlepas. Selain keterampilan medis, kita juga dilatih untuk terampil berkomunikasi dengan pasien, basa-basi,mengasah empati kepada pasien, menilai kondisi pasien, mempertajam kemampuan diagnosis dan pemeriksaan penunjang. Kami juga dilatih bekerja dengan jam dokter, dimulai pagi stase pukul 7.00-16.00 dilanjutkan dengan jaga pukul 16.00-6.00 keesokan paginya, dilanjutkan dengan stase lagi pukul 7.00 berikutnya. Sungguh lelah rasanya, tak jarang keesokan harinya kami seperti mayat hidup saat stase karena ngantuk tak tertahankan dan rasanya ingin rebahan di kasur. Tak jarang juga kami bolos stase ke mes koas/kosan demi mengistirahatkan badan sejenak, atau mencuri tempat di pojokan poli untuk tidur jika pergi ke mesko/kos tidak memungkinkan, atau jika tidak bisa tidur sama sekali sore hari setelah kegiatan koas selesai pasti tidur sejak sore, bangun hanya untuk solat, kemudian baru bangun keesokan harinya. What a day sekaleh!Hahahaa.

Pertama kali saya koas adalah stase bedah, mahasiswa yang pertama kali koas pasti semangat, maka ada istilah kosambi (koas ambisius) dimana semangat selalu ingin di depan jika ada keterampilan atau kuliah, selalu ingin yang pertama, selalu ingin mencoba, selalu ingin sampai bisa, yang jelas ambisius karena baru pertama kali menginjakkan kaki sebagai petugas medis di rumah sakit. Lucu deh kalau ingat itu, apalagi saingan untuk dapat hecting/jahit selama jaga, atau rebutan untuk menolong partus (kelahiran) ibu hamil, atau kuret. Semangat kosambi ini ada yang terjaga sampai akhir koas, ada juga yang terhenti di tengah jalan karena mulai merasa bosan/malas. Yah memang selama koas besar sekali godaan untuk malas, karena kami benar-benar tidak diawasi, benar-benar kami belajar diperlakukan seperti orang dewasa bukan anak-anak lagi, namun tanggung jawab yang diberikan tersebut malah membuat beberapa diantara kami mengambil kesempatan untuk kabur dan tidak mengikuti kegiatan koas semestinya, sehingga tidak jarang juga koas itu hanya sekedar lewat untuk beberapa diantara kami.Sayang sekali memang, tapi ya biarlah sudah, karena walaupun sudah diingatkan mereka tetap seperti itu.

Di setiap akhir departemen, selalu ada ujian. Jadi kalau selama 1,5 tahun, berarti ada 17 departemen yang harus dilalui. Ujian yang dilakukan bisa berupa ujian tulis, ujian periksa pasien, ujian diskusi dengan konsulen, yang terakhir ini bukan disebut diskusi ya sepertinya, tapi pembantaian. Hihihii. Karena begitu banyak konsulen yang sangat pintar di bidangnya yang sudah spesifik, menguji kita mahasiswa amatiran yang diwajibkan menguasai semua bidang kedokteran. Terbayang kan pasti kayak langit dan bumi perbedaannya, kalau ditanya banyak yang tidak bisa, kecuali hoki pas banget yang dibaca pas banget yang diingat, atau jika pertanyaannya bisa dijawab secara logika. Ditambah lagi kalau konsulen tersebut terkenal killer, ada bahkan yang tiap melontarkan pertanyaan jika kamu benar jawabannya ditambah poin 10, jika salah dikurangi 10. Ada juga yang selalu membuat mahasiswa jadi tidak pede dengan melontarkan kalimat, “yakin kamu?” “masa sih begitu? Bukannya seperti ini?” yaah karena tidak banyak yang bisa dijadikan logika untuk kedokteran, maka kemampuan menghapal sangat dibutuhkan untuk kelangsungan perkoasan. Jadi wajar saja kalau ditanya seperti itu kita jadi ragu dengan jawaban sendiri, padahal sebenarnya jawaban tadi sudah benar. Hahahaa. Latihan untuk benar-benar tidak salah memberikan yang terbaik untuk pasien.

Selama koas juga kami belajar ber empati ke pasien, melihat setiap pagi antrian panjang di loket karcis yang mulai dibuka jam 6 pagi, padahal poli baru buka jam 9, dan entah sudah dari jam berapa mereka mengantri demi mendapat nomor antrian paling pertama. Kemudian di aula rshs, bisa dilihat juga pemandangan tikar yang digelar setiap malam untuk tempat tidur bagi penunggu pasien, bukan hanya penunggu bahkan pasien pun rela tidur disana untuk pemeriksaan lebih lanjut keesokan harinya. Miris, ya karena sistem, untuk tulisan selanjutnya akan dibahas lebih lanjut mengenai sistem kesehatan yang ada di rumah sakit. Dan saat di poli, pasien yang antri dari jam 3 subuh itu hanya mendapat pelayanan selama 5 menit karena banyaknya pasien, yang bahkan diperiksanya pun seadanya. Miris, memang. Tapi dengan keterbatasan tersebut, tenaga medis akan tetap berusaha memberikan yang terbaik, keputusan untuk diagnose dan penatalaksanaan selanjutnya yang tepat. Kepentingan pasien yang utama, melihat mereka tersenyum karena sudah terbebas dari beban sakitnya adalah kepuasan sendiri bagi kami, khususnya saya. Rasanya senang sekali sudah bisa menjadi perantara Tuhan saya untuk bisa menolong orang-orang yang sakit. Alhamdulillah..

 Selama 4 tahun pre klinik, tidak banyak yang bisa dikenang di akademis, hidup saya terutama lebih banyak kepada organisasi. Bosan rasanya jika hanya dihabiskan dengan teks book2 tebal berbahasa Inggris yang bahasanya pun kadang sulit dimengerti. Jadi ya kuliah kedokteran di s1 benar2 hanya lewat sebagai bekal di dunia klinik. Tidak ada yang bisa dijadikan penyemangat belajar karena kami belum mengerti dunia yang akan kami hadapi nantinya. Ketika masuk ke dunia klinik, barulah saya menyadari kalau tanggung jawab yang saya emban itu berat. Baru melihat dunia saya yang sebenarnya. Karena pasien saya bukan hanya orang elit, tapi juga orang yang tidak berduit. Karena pasien saya bukan hanya kontrol batuk pilek panas, tapi juga pasien End stage yang butuh kesabaran untuk sekedar meningkatkan kualitas hidupnya, Tak lupa juga pasien sehat yang harus digalakkan promotif dan preventif nya agar tidak sakit. Tanggung jawab kesehatan orang2 di sekitar saya ada di tangan saya 50%, karena sebagian yang lain dipegang oleh masing2 individu tersebut. Begitu pun keluarga dan orang terdekat, minimal menjadi tempat konsultasi orang2 yang bingung mau bertanya pada siapa. 

5,5 tahun, penuh perjuangan, penuh pengalaman, namun memberi keyakinan bahwa pilihan yang saya ambil saat mengisi kertas ujian SPMB tidak salah, untuk selanjutnya melangkah mantap menjadi dokter, sebagai profesi yang mulia. Untuk selanjutnya, kita lihat kebutuhan masyarakat saat ini, jika kebutuhan pasar adalah dokter spesialis, maka saya akan sekolah lagi. Namun kalau kebutuhan pasar adalah dokter umum sekaligus dokter keluarga, maka tidak ada salahnya melepas keinginan demi kebermanfaatan sekitar. Menjadi dokter itu mengabdi, dengan hak yang juga bisa kita perjuangkan dengan baik. Namun ada porsi yang lain untuk itu, saya yakin orang2 tersebut akan memperjuangkan hak dokter dengan baik juga.

Tidak ada komentar: